KABARCEPU.ID – Cap Go Meh, yang dikenal juga sebagai perayaan hari ke-15 Tahun Baru Imlek, merupakan salah satu tradisi yang kaya akan sejarah dan makna mendalam, khususnya di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Perayaan Cap Go Meh ini tidak hanya menandai akhir dari perayaan Tahun Baru Imlek, tetapi juga memiliki beragam legenda yang menambah warna dan makna pada setiap aktivitas yang dilakukan.
Dilansir dari China Odyssey Tours, terdapat beberapa legenda yang melatarbelakangi perayaan Cap Go Meh serta cara masyarakat Tionghoa merayakannya.
Cap Go Meh berasal dari kata “Cap” yang berarti lima, dan “Go Meh” yang berarti malam. Oleh karena itu, Cap Go Meh sering diartikan sebagai malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek.
Pada malam ini, masyarakat Tionghoa berkumpul untuk merayakan dengan berbagai kegiatan, seperti lelang lampion, tari barongsai, dan berbagai kuliner khas. Perayaan ini juga menjadi momen untuk menghormati dewa-dewa serta arwah leluhur.
Legenda Tentang Perayaan Cap Go Meh
Legenda Pertama: Putri Raja yang Hilang
Salah satu legenda yang terkenal berkaitan dengan perayaan Cap Go Meh adalah kisah tentang seorang putri yang hilang. Diceritakan bahwa di suatu kerajaan, ada seorang putri cantik yang sangat dicintai oleh rakyatnya. Suatu ketika, putri tersebut diculik oleh makhluk jahat dan dibawa ke tempat yang jauh.
Untuk menyelamatkan putrinya, seorang pangeran berani berusaha menembus kegelapan dan tantangan yang ada. Di malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek, pangeran itu menyinari jalan dengan lampion. Lampion-lampion tersebut diyakini dapat menarik perhatian sang putri dan juga mengusir makhluk jahat yang menawannya. Dalam perjalanan, pangeran bertemu dengan berbagai rintangan, tetapi semangat dan kehendak kuatnya membawanya pada keberhasilan untuk mengembalikan putri ke kerajaannya.
Sesampainya di kerajaan, masyarakat mengadakan perayaan besar-besaran dengan meramaikan malam itu menggunakan lampion. Aktivitas ini kemudian menjadi tradisi dan sebagai bentuk syukur atas kembalinya putri yang dicintai. Sampai hari ini, setiap tahun pada malam Cap Go Meh, masyarakat akan menggantung lampion sebagai simbol harapan dan perlindungan.
Legenda Kedua: Penyelamatan dari Malapetaka
Legenda lain yang sering diceritakan berkaitan dengan Cap Go Meh adalah kisah tentang bencana alam yang bisa melanda sebuah desa. Diceritakan bahwa di sebuah desa, setiap 15 hari pertama setelah Tahun Baru Imlek, bencana akan datang dalam bentuk badai petir yang menghancurkan tanaman dan rumah-rumah penduduk.
Para petani dan penduduk desa merasa khawatir akan nasib mereka, lalu mereka memutuskan untuk berkumpul dan melakukan ritual untuk memohon perlindungan kepada Dewa Langit. Dalam ritual tersebut, mereka menyalakan banyak api dan menggantungkan berbagai jenis lampion untuk memanggil perhatian Dewa. Malam itu, sambil memanjatkan doa, mereka juga menari di bawah sinar lampion sebagai ungkapan syukur dan harapan.
Akhirnya, badai yang biasanya menghancurkan desa mereka tidak terjadi pada malam itu, dan desa tersebut selamat dari malapetaka. Untuk mensyukuri kejadian tersebut, penduduk desa merayakan Cap Go Meh dengan menggelar berbagai macam festival, termasuk tarian Naga Liong dan peluncuran lampion. Tradisi tersebut berlangsung hingga kini, di mana harapan, doa, dan harapan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik diwakili dalam perayaan Cap Go Meh.
Legenda Ketiga: Kebaikan Putri Kaisar Giok
Pada zaman dahulu kala, terdapat banyak burung dan binatang buas yang mencelakai manusia. Untuk melindungi diri, orang-orang mengadakan perburuan. Suatu hari, seekor burung dewa tersesat dan mendarat di dunia fana secara tidak sengaja dan tertembak oleh para pemburu yang tidak menyadari hal itu. Kaisar Giok di kerajaan langit, murka setelah mengetahui hal ini, dan memerintahkan dewa api untuk membakar dunia fana pada hari ke-15 bulan pertama lunar untuk memberi hukuman.
Putri Kaisar Giok yang mendengar tentang hal ini, diam-diam datang ke alam fana untuk memperingatkan orang-orang. Untuk menipu Kaisar Giok, orang-orang menyusun rencana: pada malam ke-15, mereka menghiasi rumah-rumah mereka dengan lentera dan menyalakan kembang api agar dunia tampak seperti terbakar. Rencana ini berhasil menipu Kaisar Giok, menyelamatkan manusia. Sejak saat itu, orang-orang menggantung lentera setiap tahun pada hari ini untuk memperingati peristiwa tersebut.
Tradisi dan Perayaan Cap Go Meh Era Modern
Dalam perayaan modern Cap Go Meh, banyak kegiatan dilakukan untuk merayakan keanekaragaman budaya. Beberapa kegiatan yang umum ditemui antara lain adalah:
1. Pasar Malam: Di berbagai daerah, pasar malam diadakan dengan aneka makanan khas Tionghoa, seperti kue keranjang, lumpia, dan kue buah. Hal ini tidak hanya menjadi ajang berbagi kuliner, tetapi juga memperkuat hubungan antarwarga.
2. Pelepasan Lampion: Banyak komunitas yang menyelenggarakan acara pelepasan lampion ke langit malam. Lampion-lampion ini sebagai simbol harapan baik untuk tahun yang akan datang, dengan harapan agar cita-cita dan impian dapat terwujud.
3. Pertunjukan Seni: Tarian Barongsai, Pertunjukan Liang Liong, dan tarian tradisional lainnya menjadi bagian penting dalam perayaan ini. Artis lokal dan pemuda setempat berkolaborasi untuk menyajikan pertunjukan yang meriah dan menarik.
4. Doa di Tempat Ibadah: Masyarakat juga mengunjungi kuil-kuil untuk berdoa dan memberikan sesajian. Ini adalah cara mereka menghormati dan berterima kasih kepada para dewa dan leluhur yang telah melindungi mereka.
Cap Go Meh bukanlah sekadar festival perayaan, melainkan sebuah kehidupan yang terjalin dengan legenda, tradisi, dan rasa syukur. Masyarakat Tionghoa di Indonesia terus menjaga keaslian perayaan ini, sekaligus mengadaptasinya dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi dan persatuan di tengah keberagaman.
Melalui cerita-cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, nilai-nilai moral dan sosial yang terkandung di dalamnya senantiasa memberikan inspirasi bagi apakah pentingnya menjaga tradisi dan saling menghormati antarbudaya. Cap Go Meh adalah simbol harapan, persatuan, dan kekuatan masyarakat dalam menghadapi segala tantangan hidup.***