KABARCEPU.ID – Gunung Lawu, terkenal dengan keindahan alamnya yang memukau. Namun, di balik keindahannya, gunung ini juga menyimpan cerita mistis dan legenda yang menarik, salah satunya tentang Pasar Setan.
Di sisi lain, terdapat kisah inspiratif dari Mbok Yem, penjual nasi pecel yang telah berjualan di puncak Gunung Lawu selama 30 tahun.
Nasi pecel yang biasa dimakan saat sarapan pagi biasanya dijual di tempat-tempat pinggir jalan atau di warung-warung kecil di setiap sudut kota dan desa.
Namun, bagaimana jika penjual nasi pecel ini menjual dagangannya di puncak Gunung Lawu?
Bagi para pendaki Gunung Lawu, keberadaan warung Mbok Yem bukanlah hal baru.
Diketahui, sebagai pelopor warung tertinggi di Indonesia, yaitu pada ketinggian 3150 mdpl, Mbok Yem sudah berjualan di puncak Gunung Lawu kurang lebih selama 30 tahun.
Menu makanan yang dijual oleh warung Mbok Yem berupa nasi pecel sederhana dengan harga Rp15.000 per porsi, yang terdiri dari telur ceplok, nasi, sayuran, bihun, dan tentunya bumbu khas pecel daerah Magetan dari Mbok Yem sendiri.
Tak hanya itu, Mbok Yem juga menawarkan teh dan susu hangat yang cocok dengan udara dingin di Gunung Lawu.
Mbok Yem benar-benar tinggal dan menetap di Gunung Lawu. Lokasinya bukan di lereng gunung, tapi menempati pelataran yang berjarak beberapa meter dari Puncak Hargo Dumilah.
Wanita bernama lengkap Wakiyem ini telah tinggal di Gunung Lawu sejak tahun 80-an.
Meski fisiknya tidak sekuat dulu, ibu empat anak tersebut tetap setia memanjakan pendaki dengan hidangannya. Sungguh mengagumkan, mengingat cuaca yang sangat ekstrem di gunung tersebut.
Meskipun di beberapa gunung juga ada penjual, seperti di Pos Ranu Kumbolo Gunung Semeru yang menjual berbagai minuman ringan, kopi, hingga nasi, penjualnya tidak menetap di lokasi seperti Mbok Yem.
Mbok Yem tinggal di Gunung Lawu dan sudah biasa dengan suasananya. Sepi, penuh ketenangan, dan tetap nyaman.
Udara dingin tidak jarang berhembus dengan mesranya. Meski begitu, Mbok Yem juga akan turun gunung pada waktu tertentu, salah satunya ketika Hari Raya Idul Fitri atau saat keluarganya sedang menggelar hajatan.
Walaupun hanya beberapa kali ‘turun gunung’ dalam setahun, untungnya masih ada yang mengirimkan bahan makanan beberapa kali dalam sebulan untuk Mbok Yem, sehingga dia tidak sampai kekurangan bahan dagangan.
Untuk persediaan air, beliau mengandalkan aliran Sendang Drajat. Meskipun tidak ada jaringan listrik PLN yang sampai ke puncak, di warung Mbok Yem terdapat televisi, kulkas, penanak nasi, dan lampu yang menyala yang menjadi viral di dunia maya.
Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa energi listrik di warung Mbok Yem menggunakan panel surya yang menangkap panas matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik.
Yang paling mengesankan, Mbok Yem memiliki peliharaan berupa seekor monyet di warungnya yang dinamakan “Temon Aditya”.
Meskipun ada anaknya dan satu orang pekerja yang biasa membantu Mbok Yem di warung, hampir sebagian besar hari-hari Mbok Yem hanya berada sendiri di puncak Lawu. ***