30.5 C
Cepu
BerandaRagamKeramat Bulan Suro: Menelusuri Makna, Sejarah, dan Tradisi

Keramat Bulan Suro: Menelusuri Makna, Sejarah, dan Tradisi

KABARCEPU.ID – Bulan Suro, sebagai bulan pertama dalam kalender Jawa, memiliki arti yang sangat mendalam dan kompleks bagi masyarakat Jawa.

Bulan ini sering dianggap “keramat”—suci, mistis, atau bahkan angker—dan kaya akan tradisi kuno, praktik spiritual, serta perpaduan unik antara kepercayaan lokal dengan pengaruh Islam.

Untuk memahami Bulan Suro, kita perlu menelusuri akar sejarah, landasan filosofis, dan bagaimana maknanya berkembang di masyarakat modern.

Mengungkap Kesakralan Bulan Suro

Bulan Suro secara luas dipandang sebagai waktu yang sakral dan penuh misteri, diyakini dipenuhi dengan energi spiritual yang kuat.

Pandangan ini mendorong banyak orang untuk menghindari kegiatan duniawi besar, seperti pernikahan atau perayaan, dan sebaliknya, memilih untuk melakukan aktivitas spiritual seperti ritual tolak bala, ziarah kubur, atau bertapa.

Istilah “keramat” juga memiliki konotasi “angker” atau menyeramkan, terutama untuk malam 1 Suro yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam (1 Muharram).

KONTEN MENARIK UNTUK ANDA

Ada keyakinan bahwa pada malam tersebut, aktivitas kekuatan gaib atau energi mistis meningkat.

Kesakralan Bulan Suro sangat erat kaitannya dengan anggapan bahwa Malam 1 Suro adalah waktu yang paling tepat untuk introspeksi diri, membersihkan diri, dan melakukan laku spiritual (tirakat) untuk lebih dekat dengan Tuhan.

Bulan ini dipandang sebagai bulan “prihatin” (khidmat atau kontemplatif), yang tidak cocok untuk perayaan duniawi.

Asal-Usul Historis dan Sinkretisme Budaya

Secara historis, kalender Jawa—termasuk konsep Bulan Suro—bermula pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kesultanan Mataram Islam (1613-1645 M).

Sultan Agung memiliki inisiatif untuk menggabungkan kalender Saka (berdasarkan siklus matahari, warisan Hindu) dengan kalender Hijriah (berdasarkan siklus bulan, sistem Islam).

Penyatuan ini dimulai pada hari Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir, tahun 1555 Saka, yang bertepatan dengan 8 Juli 1633 M.

Nama “Suro” sendiri berasal dari kata Arab ‘Asyura’, yang berarti “sepuluh”, merujuk pada tanggal 10 Muharram, hari yang memiliki nilai sejarah penting dalam Islam. Upaya Sultan Agung ini memastikan ritual perayaan Muharram dan Asyura dapat diterapkan dan dilestarikan secara resmi di Indonesia.

Perkembangan sejarah ini, di mana kalender Jawa merupakan hasil penggabungan sistem penanggalan Hindu-Buddha dan Islam, menunjukkan adanya landasan sinkretis yang mendalam dalam spiritualitas Jawa.

Penamaan bulan “Suro” dari “Asyura” secara linguistik juga memperkuat pandangan ini, menandakan adanya upaya sengaja dari penguasa saat itu untuk mengintegrasikan sistem keagamaan dan budaya yang berbeda.

Oleh karena itu, aspek “keramat” pada Bulan Suro adalah gabungan dari berbagai lapisan: mulai dari elemen mistis pra-Islam (seperti “energi mistis” atau “gerbang dunia gaib”) hingga signifikansi keagamaan Islam (penyelarasan dengan Muharram sebagai bulan suci).

Kompleksitas ini adalah kunci untuk memahami pandangan dunia Jawa, di mana elemen-elemen yang tampaknya berbeda dapat hidup berdampingan dan ditafsirkan ulang.

Dinamika di Era Modern

Meskipun zaman terus berubah, tradisi Bulan Suro tetap hidup. Di banyak daerah, ritual seperti upacara Jamasan Pusaka (pencucian benda pusaka) masih dilakukan, menunjukkan penghormatan terhadap warisan leluhur.

Namun, di sisi lain, banyak anak muda mulai menafsirkan kembali makna Bulan Suro, mungkin lebih sebagai waktu untuk refleksi diri dan resolusi pribadi, daripada hanya sekadar ritual. ***

KONTEN UNIK DARI SPONSOR UNTUK ANDA
spot_img

Berita Terbaru

spot_img
spot_img

Berita Terkait