Filosofi Kilometer Nol Cepu Pertamina

Sejarah perminyakan Cepu - kilometer 0

KABARCEPU.IDTitik 0 Kilometer atau Kilometer Nol Cepu Pertamina, memiliki arti tersendiri bagi pergerakan bisnis Pertamina EP Asset 4 Field Cepu. Itu seperti diungkapkan Agus Amperianto, FM Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, pertengahan tahun 2016 lalu.  Menurutnya, Kilometer 0 Cepu Pertamina memiliki filosofi.

Dia menjelaskan, setiap langkah pergerakan maju dari bisnis Pertamina secara korporasi harus dimulai dari niat yang baik dari titik 0 di Cepu Field Pertamina EP Asset-4 ini.

Selanjutnya, kata Agus, bahwa setiap bangsa atau masyarakat pasti memiliki tatanan nilai sosialnya masing-masing. Itu tidak bisa berlaku universal. “Karena seperti kata pepatah lama. Lain lubuk, lain pula ikannya. Maka tatanan nilai sosial kemasyarakat pun juga berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya,” terangnya.

Dan setiap perbedaan tersebut, lanjut dia,  harus di sikapi sebagai sebuah kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama dengan melangkah dari kilometer awal. “Yaitu kilometer 0,” tegasnya.

Lebih lanjut, pria berkumis ini menjelaskan, Kilometer 0 memberikan arti pesan untuk senantiasa mengawali hidup ini. “Untuk belajar dan hidup benar, sebagaimana filosofi Jawa yang kaya dengan pengaruh pikir kebaikan, dan dimulai dari Cepu,” jelasnya.

Dan  10 butir filosofi Jawa tentang kehidupan yang baik dan positif itu, dia rinci dan dijelaskan satu persatu.  Pertama, Urip Iku Urup  (Hidup itu Nyala). Butir filosofi ini bermakna dan mengandung pesan moral.  Dia menjelaskan, hidup kita itu hendaknya  memberi manfaat bagi segenap orang lain yang berada di sekitar kita. “Semakin besar kita bisa memberikan manfaat dan berguna bagi khalayak ramai, maka  kwalitas hidup kita pun juga akan menjadi lebih baik,” papar Agus.

Kedua, Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan;  serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak). “Tugas kita selagi hidup di alam fana ini tak lain adalah mengusahakan bonum commune yang dalam bahasa politik sering diterjemahkan sebagai kebaikan atau kesejahteraan bersama  untuk segenap masyarakat,” kata mantan Humas Pertamina EP Asset 4 ini.

Ke-tiga, Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti  (Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan   sikap bijak, lembut hati dan sabar). “Cinta tanpa pamrih akan mengalahkan segala bentuk kekerasan hati,” ujarnya. Dalam bahasa Latin ada ungkapan Caritas Christi urget nos yang diartikan kasih Tuhan mendorong kita untuk berbuat banyak bagi sesame. “Bisa juga kita artikan , kasih mengalahkan segala angkara murka,” terangnya.

Ke-empat, Ngluruk Tanpa Bala; Menang Tanpa Ngasorake; Sekti Tanpa Aji-Aji; Sugih Tanpa Bandha  (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa harus merendahkan atau  mempermalukan orang lain; Berwibawa tanpa harus mengandalkan kekuasaan, kekuatan,  kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan). “Apalah artinya hidup ini bila kita dimusuhi orang lain karena ulah kita sendiri?. Rasa-rasanya  tiada guna kita memuja diri dengan segala atribut duniawi berbentuk kekuasaan, kekayaan,  penampilan fisik, kalau nyatanya kita tidak punya kawan,” jelas dia.

Pun pula, lanjut Agus, tidak perlu juga kita membuat orang lain malu atau sakit hati hanya karena kita  ingin “balas dendam”.  Jauh lebih bermartabat, kalau kita berani mengampuni orang lain dan  memberikan maaf. Sekalipun yang bersangkutan barangkali tidak mau mengaku salah dan  tidak mau berdamai dengan kita. “Kebesaran jiwa seseorang justru terbaca ketika berani  mengaku salah dan minta maaf. Pun pula rela mengampuni mereka yang bersalah kepada kita,” pesannya.

Ke-lima, Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu). “Apalah artinya benda dan harta material kita?. Dalam sekejap semua milik kita bisa musnah dan hilang ”ditelan” bencana alam seperti tsunami, gempa bumi tektonik, kebakaran, dan masih banyak lagi,” ujarnya. Memiliki benda itu perlu, lanjut dia, namun tidak perlu menumpuk. Benda atau harta, kata dia, harus diperlakukan sebagai ”sarana” dan bukan “tujuan” hidup.

Yang Ke-enam, Aja Gumunan; Aja Getunan; Aja Kagetan, Aja Aleman  (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut;  Jangan mudah kolokan atau manja). Menurutnya, banyak orang mengalami ”gegar budaya” (culture shock) manakala menjadi kaya secara tiba-tiba. “Entah itu melalui jalan benar atau tidak benar semisal korupsi. Harta berlimpah mampu mengubah perilaku manusia,” tegasnya.

Ke-tujuh, Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman  (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi). Dia menerangkan, harta, kekuasaan, dan kenikmatan adalah tiga hal yang sering kali membawa manusia pada   jurang dosa alias gampang digoda melakukan pelanggaran norma-norma social, hokum, susila, agama dan moral. “Sekali gelap mata, maka gelap pula jalan yang akan kita tempuh  lantaran manusia mudah menjadi gila harta, gila kekuasaan, dan gila kenikmatan,” ujar Agus.

Ke-delapan, Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak  celaka). Menurutnya, Pintar dan cerdas sangat membuka peluang bagi kita menjadi sombong dan arogan. Dia berpesan, kalau kita merasa pintar sendiri, maka orang lain akan selalu kita pandang sebelah mata. “Kalau  sudah begitu, maka kita meletakkan diri terlalu tinggi dan memandang orang lain terlalu rendah. Akibatnya, kita bisa ”kesandung” atau malah terjungkal oleh arogansi kita sendiri,” kata dia.

Apalagi, lanjut Agus, kalau berani berbuat curang hanya untuk kepentingan diri sendiri. “Itu namanya tega  rasa alias tidak berbelas kasih. Orang yang hanya peduli dengan dirinya sendiri akan mudah  sekali ”jatuh” dalam dosa yang disebut main curang,” jelasnya.

Ke-sembilan, Ojo Milik Barang Kang Melok; Ojo Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat). Hidup sederhana itu indah, menurut dia, hidup menurut ukuran dan takaran kita sendiri adalah bijaksana daripada harus hidup       penuh kepalsuan. “Layaknya bunyi pepatah lama, besar pasak, daripada tiang,” ungkapnya. Sekarang ini, lanjut dia, banyak orang lupa diri lantaran terkena hipnotis akan hidup enak, mewah, dan serba cepat.

Yang terakhir, Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti). Kata Agus, sombong adalah akar segala dosa. “Merasa diri paling hebat biasanya menjadi awal untuk  melakukan segala bentuk penghinaan kepada orang lain,” jelasnya.

Sombong dan arogansi, menurutnya, akan  bertambah hebat. “Kalau ditopang oleh kekayaaan,” terangnya. Menjadi lebih ”mengerikan” lagi, kata dia, kalau  ditambah dengan semangat mencari kekuasaan atau ambisius. “Ambisi jelas baik, namun ambisius sangat tidak baik,” ujarnya.

Hidup sederhana dan rendah hati, bagi dia,  adalah sebuah perjalanan panjang. Hasil pengolahan batin yang tidak serba instant. “Doa, refleksi dan mawas diri menjadi sarana batin untuk mengatur kehidupan kita agar kita  menjadi manusia bermartabat, sosial, penuh kasih, dan berguna bagi sesame,”pungkasnya. (*)