Arsip Tag: sejarah bojonegoro

Rekomendasi Hasil Diskusi Ilmiah: Membangun Museum Sejarah Bojonegoro

KABARCEPU.ID – Diskusi Ilmiah dalam rangka menyambut Hari Jadi ke-347 Kabupaten Bojonegoro, dilaksanakan di UNUGIRI pada Kamis, 10 Oktober 2024.

Dengan tema ‘Peran Sejarah dan Budaya dalam arah Kemajuan Pembangunan Bojonegoro’.

Diskusi ini, diharapkan menjadi awal kembalinya pola pikir yang logis dan ilmiah dalam membicarakan sejarah dan kebudayaan Bojonegoro yang kita cintai bersama.

Sejarah sebenarnya penting untuk mengetahui identitas dan jati diri Bojonegoro sebagai sebuah wilayah yang besar dan berbudaya majemuk.

Pada dasarnya Bojonegoro lahir di atas kebudayaan bengawan, dengan segala dinamikanya, baik itu aspek sosial, kultural, dan ekonomi, yang selalu tumbuh dan menjadi nafas peradabannya.

Sampai dengan tahun 1800-an, Bengawan masih memegang peran strategisnya sebagai jalur utama perdagangan dari pesisir menuju pedalaman Jawa.

Ekspor Impor produk-produk masih melalui jalur ini. Lahan-lahan pertanian yang subur di lembah Bengawan menyokong kemajuan Bojonegoro, sebagai daerah pengekspor beras dan tembakau ke penjuru nusantara.

Wilayah Bojonegoro ini secara alami dilindungi oleh keberadaan pegunungan Kendeng di sisi utara dan selatan, yang berhutan dan penuh sumber mata air.

Bahkan dari beberapa kajian, Gunung Pandan merupakan pusat peradaban era kerjaan Medang sampai dengan Majapahit, bukti itu ada dan berserakan di Museum Bojonegoro.

Prasasti banyak yang tertinggal dan masih ada di Gunung Pandan, diantaranya Prasasti Sumberarum, Prasasti Tapaan, Prasasti Kedaton, Prasasti Batu Gilang, Prasasti Cancung dan Prasasti Sumberarum.

Tentu sangat perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, jika ingin mengungkap kebenaran sejarah klasik Bojonegoro.

Diskusi Ilmiah dengan empat narasumber dari lintas wilayah dan lintas konsen keilmuan, dibuka oleh Kepala Dinas Pariwisata Bojonegoro Budiyanto.

Ini merupakan wujud nyata dari gagasan BEM Unugiri berkolaborasi dengan Komunitas Bumi Budaya dan juga Bojonegoro History untuk menyemarakkan hari Jadi Kabupaten Bojonegoro.

Sekaligus menekankan pentingnya literatur sejarah dan kebudayaan yang akan menjadi landasan teoritis tentang refleksi Hari Jadi Bojonegoro yang hampir empat abad lamanya.

Hasil Diskusi Ilmiah ini adalah Rekomendasi atas beberapa hal sebagai bahan pertimbangan para pemangku kebijakan di Bojonegoro, antara lain; Mendorong berdirinya sebuah Museum di Bojonegoro, mendorong kegiatan kearsipan dan literasi, dan mengupayakan ekosistem kebudayaan yang sehat melalui kajian-kajian lintas bidang keilmuan dan lintas sektoral.

Masjid Darul Muttaqin Padangan, Perpaduan Harmonis Arsitektur Islam-Jawa

KABARCEPU.ID – Padangan terkenal sebagai sentra pembuatan ledre yang sangat terkenal di Kabupaten Bojonegoro.

Dari Kecamatan Padangan hingga Kecamatan Kasiman, banyak terdapat plang bertuliskan “ledre”, menunjukkan bahwa pemilik rumah dengan plang tersebut adalah pembuat ledre.

Selain dijuluki sebagai kota ledre, kawasan di dekat Sungai Bengawan Solo ini masih banyak memiliki bangunan lama peninggalan zaman kolonial.

Hal ini terkait dengan adanya bangunan-bangunan tua di Padangan, yang secara tidak langsung dapat mencerminkan pertumbuhan dan perkembangan sosial budaya, termasuk seni bangunan di lingkungan tersebut.

Di sekitar wilayah Padangan, masih berdiri bangunan-bangunan tua bersejarah, seperti kantor Polsek Padangan, bangunan berarsitektur Belanda, bangunan kompleks Cina, hingga gapura pada bangunan peribadatan, yakni masjid.

Salah satu masjid besar yang ada di Padangan dan kental akan sejarah Islam adalah Masjid Darul Muttaqim.

Sekilas, jika dilihat dari jalan raya, masjid ini tampak seperti masjid pada umumnya. Namun, yang membedakannya adalah adanya gapura masuk yang menarik.

Terdapat gapura dengan model bangunan tua bertuliskan lambang bintang dan bulan, di bawahnya ada tahun 1931 dan di bawahnya lagi ada tulisan “SANGGAR PAMEODJA ENG ALAH”.

Gapura tersebut merupakan bukti adanya perpaduan budaya antara seni bangunan Islam dan Cina yang kental dengan adat Jawa.

Hal ini menunjukkan betapa beragamnya masyarakat Padangan pada masa itu, namun tampak sekali kondisi beragama yang sangat rukun.

Awalnya, masjid ini dibangun dengan nuansa lokal Jawa dengan atapnya yang berbentuk tumpang bertingkat, menyerupai atap rumah joglo.

Selain itu, bentuk simbol bulan bintang pada puncak atas tumpang masjid sebelumnya berbentuk kolok (semacam mahkota raja).

Kini, bangunan masjid ini telah mengalami pemugaran secara total, tetapi masih mempertahankan peninggalan sejarah di beberapa bagian, seperti atap tumpang masjid, ornamen pintu masuk ruang utama salat, sokoguru, dan gapura masjid.

Masjid Besar Darul Muttaqin merefleksikan gaya arsitektur yang sama dengan Masjid Agung Demak, yaitu mempertahankan bentuk atap tumpang pada bagian atas masjid.

Ornamen kayu bercorak ragam hias flora juga menghiasi bagian interior pintu bangunan masjid.

Adapun bagian eksterior Masjid Besar Darul Muttaqin yang terkenal akan keunikan gapuranya memiliki unsur seni bangunan Jawa/keraton.

Kekhasan yang dimiliki Masjid Besar Darul Muttaqin ini terwujud berkat adanya perpaduan unsur budaya dalam konsep-konsep dan terapan gaya bangunan arsitektural Islam-Jawa pada masa itu.

Kawasan Pecinan dan Bekas Rumah Sakit Peniggalan Belanda di Padangan

KABARCEPU.ID – Padangan merupakan salah satu wilayah tertua di Kabupaten Bojonegoro.

Ini dibuktikan dengan keberadaan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh.

Padangan juga menjadi pusat sejarah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Selain menjadi titik awal berdirinya Bojonegoro, Padangan juga menyimpan sisa-sisa sejarah berupa bangunan tua.

Bangunan-bangunan tua di sini menjadi saksi bisu berdirinya Kabupaten Bojonegoro.

Rumah-rumah kuno masih banyak berdiri di Padangan. Selain itu, tanda dan simbol sebagai kota tua pun sudah tampak.

Hingga saat ini, bangunan dan pertokoan tua masih berdiri kokoh di sepanjang Desa Padangan.

Salah satu bangunan tua yang terkenal adalah milik keluarga Tan King Liong.

Kawasan Pecinan dan Bekas Rumah Sakit Peniggalan Belanda di Padangan
Bangunan ini menunut sebagian warga, bekas rumah sakit

Rumah tua yang megah ini terletak tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo.

Dulunya, bangunan ini juga pernah dijadikan rumah sakit dari tahun 1950 hingga 1980-an.

Setelah itu, rumah sakit yang berdiri megah dan kokoh ini menjadi sarang burung walet.

Pada bangunan tersebut, masih terlihat bentuk dan ukiran yang masih jelas di sisi luar bangunan.

Ornamen yang terlihat di sisi luar bangunan itu benar-benar khas arsitektur Belanda dan sangat menakjubkan.

Selain itu, Padangan masih menyimpan banyak bukti peradaban dalam bidang ekonomi pada masa Kolonial Belanda.

Bukti keberadaan Padangan sebagai pusat ekonomi dibuktikan dengan adanya nama Dukuh Bandar di sebelah utara Sungai Bengawan Solo (perbatasan Padangan-Kasiman).

Serta pasar tradisional yang sudah ada sejak zaman kolonial, tepatnya di Desa Kuncen.

Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Bojonegoro pada tahun 1825, wilayah Padangan masih ramai aktivitas perekonomian dan semakin padat pemukiman.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa bangunan kuno berarsitektur Belanda yang masih dapat kita jumpai hingga sekarang.

Beberapa dari bangunan tersebut masih difungsikan, seperti kantor Polsek Padangan, kantor Pegadaian, dan tempat peribadatan.

Sebagian lagi dibiarkan tidak berfungsi, seperti bekas klinik (rumah sakit) dan kompleks pecinan.

Sisa-sisa bangunan tersebut menjadi saksi bahwa Padangan menyimpan sejarah perpindahan kekuasaan pada masa kolonial.

Selain itu, di Padangan terdapat sebuah tempat bernama Pecinan.

Sejarah panjang Kawasan Pecinan di Padangan dimulai jauh sebelum kemerdekaan.

Menurut Sastrawan asal Padangan, JFX Hoery, keberadaan kawasan Pecinan tidak lepas dari status Padangan saat itu sebagai pusat Kadipaten Jipang.

Selain itu, letaknya yang strategis di jalur perdagangan Sungai Bengawan Solo juga menjadi faktor penentu.