KABARCEPU.ID – Perundungan atau bullying terhadap perempuan karena tidak berjilbab masih menjadi fenomena yang memprihatinkan di berbagai tempat, termasuk di Blora.
Isu ini semakin terasa ketika yang menjadi sasaran adalah seorang perempuan aktivis, misalnya Ketua KOPRIÂ (Korps PMII Putri) yang notabene adalah kader organisasi berbasis keislaman.
Di tengah semangat keberagaman dan kebebasan berekspresi, perundungan semacam ini menjadi bentuk kekerasan simbolik yang mengancam hak individu atas tubuh dan keyakinannya sendiri.
Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tidak mengenakan jilbab, apapun latar belakangnya, ia telah menjalani proses berpikir, pertimbangan nilai, dan identitas pribadi yang sangat pribadi.
Keputusan itu bukan berarti ia kurang beriman atau tidak layak memimpin.
Sebaliknya, keberanian untuk tetap pada pilihan tersebut di tengah tekanan sosial yang kuat, justru menunjukkan integritas dan konsistensi pada nilai-nilai yang diyakininya.
Sayangnya, masih banyak masyarakat — termasuk kalangan yang mengaku religius — yang menjadikan jilbab sebagai parameter tunggal dalam menilai moralitas dan kelayakan seorang perempuan.
Padahal, pakaian hanyalah satu bagian kecil dari kompleksitas identitas religius seseorang. Ketakwaan, kejujuran, dan kepedulian sosial tidak selalu tercermin dari sehelai kain di kepala.
Kita harus menyadari bahwa perundungan dalam bentuk komentar sinis, pengucilan sosial, hingga pelecehan verbal terhadap perempuan tak berjilbab merupakan bentuk kekerasan gender berbasis norma.
Lebih buruk lagi, ini sering dilakukan di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran toleransi dan kesetaraan: sekolah, kampus, atau organisasi kemahasiswaan.
Kasus di Blora menjadi cermin betapa kita masih perlu mendidik masyarakat untuk memahami bahwa berjilbab atau tidak adalah hak perempuan.
Tidak berjilbab tidak lantas menjadikan aktivis perempuan muslim merasa minoritas. Pada hakekatnya jilbab adalah salah satu style yang terus berkembang dari jaman ke jaman.
PMII sebagai organisasi kaderisasi berbasis Islam progresif seharusnya menjadi contoh bahwa keberislaman tidak tunggal dalam bentuk atau simbol.
Seorang ketua KOPRI, berjilbab atau tidak, tetaplah pemimpin yang harus dinilai dari kontribusi, gagasan, dan militansinya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan keadilan sosial
Blora sebagai kota kecil yang plural semestinya menjadi ruang aman bagi semua pilihan beragama dan berbusana.
Ruang aman ini hanya bisa terwujud jika kita, sebagai masyarakat, berani menolak segala bentuk perundungan, sekecil apapun bentuknya.
Sudah saatnya kita mendukung perempuan untuk tampil sebagaimana mereka nyaman dan yakin, bukan sebagaimana tekanan sosial mengharuskan. ***