KABARCEPU.ID – Perayaan Cap Go Meh yang jatuh pada hari ke-15 bulan pertama dalam kalender Imlek adalah salah satu festival yang paling ditunggu dalam budaya Tionghoa.
Menghadirkan berbagai tradisi dan ritual, perayaan Cap Go Meh ini merupakan puncak perayaan dari Tahun Baru Imlek serta untuk menyambut bulan purnama pertama atau malam ke-15.
Dalam tradisi, perayaan Cap Go Meh dirayakan dengan berbagai aktivitas, seperti arak-arakan lampion, pertunjukan barongsai, dan hidangan khas, termasuk tangyuan atau bola ketan.
Namun, di balik kemeriahan dan suka cita, terdapat sejumlah larangan atau pantangan saat perayaan Cap Go Meh yang biasa diikuti oleh masyarakat Tionghoa.
Larangan dan Pantangan Pada Perayaan Cap Go Meh dalam Budaya Tionghoa
Melansir dari China Odyssey Tours, dalam budaya Tionghoa, larangan dan pantangan sering kali dianggap sebagai cara untuk menjaga keberuntungan dan menghindari nasib buruk. Berikut adalah beberapa larangan yang sering dikaitkan dengan perayaan Cap Go Meh:
1. Tidak Memotong Rambut
Larangan pertama yang sering ditemui adalah tidak boleh memotong rambut pada hari Cap Go Meh. Banyak yang meyakini bahwa memotong rambut dapat membawa sial dan mengganggu keberuntungan. Secara tradisional, rambut dihubungkan dengan kekuatan dan keberanian, sementara kehilangan rambut bisa diartikan sebagai kehilangan kekuatan.
2. Dilarang Bertengkar
Pada saat perayaan ini, diharapkan agar semua anggota keluarga dan masyarakat dapat hidup dalam harmoni. Bertengkar atau berselisih paham dianggap sebagai tindakan yang akan menarik nasib buruk sepanjang tahun. Oleh karena itu, banyak yang berusaha untuk menghindari konflik pada hari istimewa ini.
3. Pembatasan Konsumsi Makanan Tertentu
Beberapa makanan dianggap membawa keberuntungan, sementara yang lainnya tidak. Misalnya, mengonsumsi makanan berbentuk bulat seperti tangyuan dipercaya akan membawa kebersamaan dan kesatuan dalam keluarga. Sebaliknya, mengonsumsi makanan yang tajam atau pahit, seperti daun pepaya, dianggap membawa keburukan dan perpecahan.
Sebagian besar larangan dalam perayaan Cap Go Meh berasal dari tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang dapat mendukung klaim tersebut, penting untuk diingat bahwa budaya sering kali dibangun di atas kepercayaan dan nilai-nilai yang dihargai masyarakat. Dalam konteks ini, larangan dan pantangan bukan hanya sekadar mitos; mereka menciptakan rasa identitas budaya yang kuat.
Ada pula aspek psikologis yang harus dipertimbangkan. Banyak orang percaya bahwa mengikuti larangan tertentu dapat mempengaruhi suasana hati dan sikap mereka. Keyakinan akan pentingnya menjaga tradisi ini mungkin memberikan rasa tenang dan harapan, yang pada gilirannya dapat menciptakan lingkungan positif. Hal ini berkaitan dengan konsep pengaruh psikologis yang dikenal sebagai “self-fulfilling prophecy,” di mana kepercayaan seseorang dapat mempengaruhi hasil.
Seiring berkembangnya zaman dan adanya pengaruh globalisasi, cara orang merayakan Cap Go Meh juga mengalami perubahan. Banyak generasi muda yang mulai melihat larangan-larangan ini sebagai tradisi yang menyenangkan tetapi tidak harus diikuti secara ketat. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap tradisi dapat berubah seiring waktu.
Dalam merayakan Cap Go Meh, larangan dan pantangan yang ada tidak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun beberapa di antaranya mungkin terdengar seperti mitos, ada banyak aspek budaya dan psikologis yang mendasarinya.
Tradisi ini tidak hanya berfungsi untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga dapat memberikan rasa nyaman dan harapan bagi banyak orang.
Merayakan Cap Go Meh adalah pengalaman yang kaya akan makna, kearifan lokal, dan nilai-nilai spiritual yang penuh rasa syukur dan kegembiraan untuk berkumpul, berbagi, dan merayakan kebersamaan dalam suasana penuh sukacita.***