Oleh: Siti Lestari
Di akui atau tidak cost politik dalam berdemokrasi masih tetap dibutuhkan. Tidak hanya untuk pengorganisiran massa.
Kebutuhan untuk membeli suara-pun tidak bisa terelakkan. Meskipun pemerintah selalu mendengungkan stop adanya money politik, namun faktanya dalam pemilu dibutuhkan dana untuk mengganti suara pemilih.
Pernyataan anti money politik pada hakekatnya bertolak belakang dengan fakta yang ada.
Disatu sisi pemerintah berupaya untuk memaksimalkan tingkat kepesertaan pemilu. Namun di sisi lainnya pemilih tidak akan mau memilih apabila tidak ada kompensasi dari yang dipilih.
Sehingga masing-masing dari dari harus bisa pandai dalam mendapat suara dari rakyat.
Demokrasi yang ideal adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Atau bisa disama artikan kesepakatan musyawarah mufakat.
Pada zaman orde baru pemilu yang dilakukan untuk memilih wakil rakyat, presiden ataupun kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) tidak serumit sekarang ini.
Karena sistem pemilu yang dipakai masih menggunakan proposional tertutup. Dimana partai lah yang memiliki kekuasaan penuh dalam menempatkan anggotanya ke lembaga legeslatif.
Begitu juga dengan pilpres, Pilgub dan pilkada di masa orde baru yang bisa menempati posisi tersebut juga berangkat dari partai besar saat itu.
Beberapa tahun pasca reformasi barulah dimulai pemilu multi partai dengan sistem proposional terbuka. Sistem ini berlaku sampai pemilu 2024 mendatang.
Partai tidak bisa mengintervensi perolehan suara dari bawah. Sehingga hasil pemilu benar-benar adil karena berangkat dari rakyat bawah.
Kelemahan dari sistem proposional terbuka adalah adanya praktik money politik yang tidak bisa dihindari.
Karena masing-masing calon memiliki tugas untuk mendapatkan suara dari pemilih. Dan kelemahan dari pemilih, tidak ada uang tidak nyoblos. ***