KABARCEPU.ID – Bulan Suro, atau Muharram dalam kalender Islam, adalah bulan yang penuh dengan makna spiritual dan tradisi di Indonesia, khususnya di Jawa.
Dikenal sebagai waktu untuk introspeksi, pemurnian diri, dan pemulihan energi spiritual, bulan Suro menyimpan kekayaan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Banyak masyarakat Jawa meyakini adanya keramat bulan Suro, yang mendorong mereka untuk melakukan berbagai ritual dan praktik spiritual.
Artikel ini akan membahas secara mendalam berbagai ritual tradisional dan praktik spiritual bulan Suro yang masih dilestarikan hingga kini, dan mengapa bulan ini begitu sakral bagi penganut Kejawen.
Tradisi Asketis dan Kontemplatif: Menemukan Diri di Bulan Suro
Bagi banyak orang, memasuki bulan Suro adalah panggilan untuk kembali ke dalam diri. Praktik-praktik asketis ini bertujuan untuk melatih pengendalian diri, membersihkan jiwa, dan mencari berkah.
Tirakat, Lek-lekan, dan Tapa Bisu: Praktik Malam yang Suci
- Tirakat (Laku Asketis) dan Lek-lekan (Begadang Semalam Suntuk): Ritual ini melibatkan refleksi diri dan doa, seringkali diiringi pertunjukan wayang kulit. Banyak orang memilih begadang semalam suntuk di tempat-tempat keramat, balai desa, atau pendopo untuk perenungan mendalam dan memohon keselamatan. Ini adalah bentuk pengendalian diri yang kuat.
- Tapa Bisu (Meditasi Hening): Praktik ini mengharuskan seseorang untuk berdiam diri dan tidak berbicara selama satu malam penuh di malam 1 Suro. Seringkali dilakukan dengan berjalan hening mengelilingi tempat-tempat sakral seperti benteng keraton, tujuannya adalah untuk melatih konsentrasi dan meningkatkan kekhusyukan dalam berdoa.
- Kungkum (Meditasi Terendam Air): Praktik pembersihan spiritual dengan merendam diri di air, biasanya di sungai atau mata air yang dianggap keramat. Tujuannya untuk menyucikan diri dan mencapai ketenangan batin.
Semedi dan Sesirih
- Semedi (Meditasi): Berasal dari kata Sansekerta “samadhi”, Semedi adalah proses penyatuan kesadaran dengan Tuhan. Tahapannya meliputi eneng (diam), ening (pikiran jernih), enung (merenung), hingga suwung (kosong dari hal-hal duniawi). Praktik ini sering dilakukan di lokasi sakral seperti puncak gunung (Puncak Suroloyo), tepi laut, atau makam keramat.
- Sesirih (Laku Prihatin): Asketisme spiritual yang dilakukan dengan mengurangi kebutuhan jasmani melalui berbagai bentuk puasa. Beberapa jenis puasa yang umum dilakukan di bulan Suro antara lain Puasa Patigeni, Puasa Mutih, dan Puasa Ngrowot. Setiap jenis puasa memiliki aturan ketat untuk melatih ketahanan fisik dan spiritual.
Ritual Pembersihan dan Pemberkatan
Selain praktik individu, bulan Suro juga identik dengan ritual pembersihan yang melibatkan pusaka dan komunitas.
Jamasan Pusaka dan Ruwatan: Membersihkan Energi Negatif
- Jamasan Pusaka (Pembersihan Pusaka): Tradisi penting di keraton-keraton Jawa, di mana benda-benda pusaka kerajaan seperti gamelan, kereta, dan keris dibersihkan. Ritual ini tidak hanya melestarikan artefak sejarah, tetapi juga dipercaya dapat menghilangkan energi negatif dan mendatangkan berkah.
- Ruwatan (Pembersihan Spiritual): Ritual yang dilakukan untuk membersihkan suatu area atau individu dari roh jahat dan kesialan. Di beberapa daerah, Ruwatan dilakukan untuk membuang nasib buruk dan memulai lembaran baru dengan energi positif.
Labuhan dan Slametan
- Labuhan (Persembahan kepada Alam): Dilakukan di daerah pesisir, ritual ini berupa pelarungan sesaji ke laut atau sungai sebagai bentuk syukur kepada alam dan permohonan keselamatan.
- Slametan (Kenduri Komunal): Makan bersama dengan hidangan khas seperti tumpeng atau Bubur Suro yang melambangkan rasa syukur dan doa untuk keselamatan. Bubur Suro, yang dibuat dengan tujuh jenis kacang, memiliki makna mendalam sebagai doa kelancaran hidup.
Observasi Komunal
Ritual bulan Suro juga berperan penting dalam memperkuat ikatan sosial dan melestarikan budaya.
- Kirab (Prosesi): Parade seremonial besar seperti Kirab Kebo Bule Kyai Slamet di Surakarta. Prosesi ini tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga dipercaya membawa berkah dan keberuntungan bagi mereka yang melihatnya.
- Sarasehan dan Ziarah Kubur: Pertemuan untuk diskusi dan refleksi komunal (Sarasehan) serta kunjungan ke makam leluhur (Ziarah Kubur) adalah cara untuk memupuk semangat kebersamaan dan menghormati para pendahulu.
- Pagelaran Wayang Kulit: Pertunjukan yang berlangsung semalam suntuk ini menceritakan nilai-nilai kebajikan dan kearifan Jawa, menjadi media edukasi dan hiburan yang sarat makna.
Mengapa Bulan Suro Begitu Keramat?
Sifat rumit dari ritual bulan Suro berfungsi sebagai mekanisme budaya yang kuat untuk memperkuat kohesi sosial dan melestarikan nilai-nilai budaya Jawa.
Pengalaman kolektif ini menciptakan identitas dan memori bersama, memastikan tradisi tetap hidup.
Partisipasi dari bangsawan hingga rakyat biasa dalam berbagai acara seperti kirab dan mubeng benteng menunjukkan sifat masyarakat Jawa yang hierarkis namun saling terkait, di mana kepemimpinan spiritual memainkan peran penting dalam membimbing praktik komunal.
Dengan memahami tradisi ini, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menyelami kedalaman spiritual bulan Suro yang penuh makna dan kekayaan.
Apakah Anda tertarik untuk mencoba salah satu praktik spiritual ini di bulan Suro mendatang? ***