KABARCEPU.ID – Wilayah Jipang ditutup bayangan hitam dan merah. Dwi bayang itu mengaburkan eksistensi wilayah Jipang ini sebagai pusat peradaban Islam yang sentral dan krusial.
Masyarakat umum terutama masyarakat asli wilayah Jipang telah dijejali dengan cerita berikut anggapan bahwa Jipang merupakan wilayah yang keramat, ganas, dan angker.
Entah sejak kapan cerita hitam yang gemerlapan itu masif dijejalkan. Yang pasti, cerita itu saat ini sukses mendikte dan membayangi pandangan masyarakat tentang identitas asli wilayah Jipang.
Beberapa cerita yang menghitamkan wilayah Jipang itu di antaranya dongeng Adipati Jipang Arya Penangsang yang sakti namun penuh dendam dan berangasan dalam buku Babad Tanah Jawa (1874).
Hingga, risalah ihwal setan-setan dan tempat-tempat berbahaya di sepanjang Bengawan Solo Jipang yang membuat Bengawan Solo penyambung Jawa Tengah-Jawa Timur ini amat perlu diwaspadai.
Risalah hitam mengenai Bengawan Solo Jipang itu ditulis Bupati Bojonegoro Raden Arya Reksokusomo dalam catatan pribadinya yang didokumentasikan dalam buku Cariyosipun Benawi Sala (1916).
Tak puas dengan penghitaman tersebut, wilayah Jipang juga dimerahkan atau dikomuniskan dan masyarakatnya dianggap tak kenal Tuhan berikut agama. Terutama, Islam.
Beberapa titik penting di wilayah Jipang yang dihitamkan dan dimerahkan, tak lain adalah pusat wilayah Jipang itu sendiri. Yaitu Desa Jipang, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Kepala Desa Jipang Herdaru Budhy Wibowo mengemukakan, desanya memang dicap sebagai wilayah merah dan lebih dari itu: masyarakatnya dianggap tak mengenal Tuhan berikut agama. Terutama, Islam.
Sejak kapan cap tersebut melekat di desanya, kepala desa akrab disapa Ndaru ini kurang tahu. Yang pasti, tutur dia, pelekatan cap dimaksud sudah berlangsung lama.
“Sejak saya masih kecil,” ujar kepala desa kelahiran 1980 ini saat ditemui Rabu (22/5/2024) lalu.
Menurut dia, cap tersebut tak benar. Masyarakat desanya memang mengamini suatu pengeramatan dan mempercayai entitas serta eksistensi ghaib yang didesuskan di wilayah desa setempat.
“Namun, itu tak lantas membuat kami menjadi merah dan berpisah dengan Islam,” tegasnya.
Berdasarkan keterangan Ndaru, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di pusat wilayah Jipang tersebut begitu toleran. Artinya, tetap mengimani Islam. Namun, tak meninggalkan keramatisme Jawa.
Terkait mengapa pusat wilayah Jipang itu dicap sebagai wilayah merah, Ndaru tak tahu pasti. Namun, ada jawaban yang cukup kronologis dan dicatat dalam beberapa literatur sejarah.
Hubungan wilayah Jipang dengan merah, terjadi kala pergerakan nasional meletup di awal abad 19. Masa itu, ada Sarekat Islam (SI) Merah yang kemudian jadi Partai Komunisme Indonesia (PKI).
SI Merah atau PKI yang diorganisir Semaun dari Kota Semarang bermassa intelektualis, buruh, dan tani. Salah satunya, buruh kereta di wilayah Jipang yakni Kota Cepu yang jumlahnya banyak.
Sebab, di Kota Cepu pada masa itu berlangsung operasional stasiun sekaligus depo kereta konvensional. Juga ada operasional kereta khusus untuk aktivitas eksploitasi Kayu Jati.
Singkatnya, Kota Cepu merupakan kantong merah yang diperhitungkan karena massa buruh kereta. Namun, pada aksi PKI 1926, para komunis di Kota Cepu tak ambil peran. Sebab, aksi PKI 1926 itu fokus di Batavia.
Kota Cepu yang merah baru berperan saat aksi PKI Madiun 1948. Di masa itu, Kota Cepu jadi tempat pelarian pasukan komunis Madiun yang digempur pasukan Siliwangi dan Gatot Subroto.
Para komunis di Kota Cepu merawat dan memberi logistik untuk para rekannya dari Madiun itu. Siliwangi yang berhasil mengejar, bahkan sempat bentrok dengan pasukan komunis Madiun di Kota Cepu.
Akibat bentrok yang didominasi Siliwangi itu, pasukan komunis Madiun pun bergeser ke barat. Merangsek masuk Kota Blora. Sementara para komunis di Kota Cepu tinggal di tempat dan relatif aman.
Pada masa pemberontakan PKI 1965, cap merah untuk wilayah Jipang akhirnya tetap kuat. Namun, peran atau pergerakan para komunis tak begitu nampak. Mungkin, sudah ciut akibat gagalnya aksi 1948.
Pada 1965 itu, wilayah Jipang hanya jadi lokasi pembantaian orang-orang komunis yang dilumpuhkan. Wabil khusus di pusat wilayah Jipang, lokasi untuk itu tepatnya berada di Bengawan Sore dan Kalidari.
Di dua sungai tersebut, kata Dalhar Muhammadun selaku Ketua Dewan Kebudayaan Blora, ada sekitar 1.000 orang komunis dan dianggap komunis yang dieksekusi.
Namun, apakah rentetan aksi PKI di wilayah Jipang utamanya di Kota Cepu tersebut bisa melabeli wilayah Jipang sebagai wilayah merah? Menurut saya, memang bisa.
Tetapi tidak sampai tingkat ekstrem hingga menyangkut ke-tauhid-an masyarakat wilayah Jipang. Rentetan aksi PKI di wilayah Jipang itu merupakan manuver politik-militer, bukan agama.
Jadi, melabeli wilayah Jipang terutama pusat wilayah Jipang sebagai wilayah merah dan masyarakatnya tak kenal agama itu ganjil dan tampak melebih-lebihkan.
Kalau mau adil dan relevan, mestinya masyarakat wilayah Jipang utamanya pusat wilayah Jipang dilabeli sebagai masyarakat yang militan, politis, kritis, sosialis, dan anti feodalis.
Lebih lanjut, betapun rancu cerita tentang penghitaman dan pemerahan wilayah Jipang, nyatanya cerita-cerita itu kini telah dikonsumsi dan melekat kuat di masyarakat.
Eksistensi wilayah Jipang sebagai pusat peradaban Islam yang dimulai Syekh Jumaidil Kubro dari Gunung Jali, Desa Tebon, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro pada 1334 M pun tertutupi.
Fakta bahwa wilayah Jipang merupakan tempat mula-mula perkembangan Islam yang damai dan toleran pada masa kejayaan Majapahit hingga lahirnya Demak, dijauhkan dari masyarakat.
Entah apa sebab persisnya. Yang dapat diindikasi, ada suatu kekuatan atau kelompok yang takut eksistensinya terdegradasi bahkan aibnya dikuliti ketika wilayah Jipang tampak secara murni. ***
Oleh : Yusab Alfa Ziqin (Penulis adalah Pegiat Literasi Bojonegoro).