24.8 C
Cepu
BerandaRagamMemahami Bulan Suro, Sinkretisme Jawa dan Keberkahan Muharram

Memahami Bulan Suro, Sinkretisme Jawa dan Keberkahan Muharram

KABARCEPU.ID – Bulan Suro dan Bulan Muharram seringkali menjadi topik pembicaraan yang menarik di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Jawa.

Banyak orang bertanya-tanya, apakah kedua bulan ini sama? Mengapa tradisi Jawa dan ajaran Islam memiliki pandangan yang berbeda tentang bulan pertama dalam kalender mereka?

Artikel ini akan mengupas tuntas hubungan antara Bulan Suro Jawa dan Bulan Muharram Islam, menjelaskan asal-usulnya, perbedaan praktiknya, serta bagaimana keduanya berinteraksi dalam budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa.

Asal-Usul dari Muharram ke Bulan Suro Jawa

Secara historis, Bulan Suro dalam kalender Jawa memiliki kaitan erat dengan Bulan Muharram dalam kalender Hijriah.

Sinkronisasi ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil kebijakan cerdas dari Sultan Agung pada tahun 1633 M.

Sultan Agung menyatukan kalender Saka (Jawa) dengan kalender Hijriah untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi masyarakat Jawa.

KONTEN MENARIK UNTUK ANDA

Istilah “Suro” sendiri diyakini berasal dari kata Arab “Asyura”, yang merujuk pada tanggal 10 Muharram.

Ini adalah hari yang sangat penting dalam sejarah Islam, menandai berbagai peristiwa besar.

Namun, meskipun disinkronkan, terkadang ada sedikit perbedaan jumlah hari antara kalender Jawa dan Hijriah, yang bisa menyebabkan selisih satu hari.

Muharram, Bulan Suci Penuh Keberkahan dalam Islam

Dalam ajaran Islam, Muharram adalah salah satu dari empat “bulan haram” atau bulan suci.

Bulan ini sangat dihormati, dan setiap amal kebaikan yang dilakukan di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Sebaliknya, dosa yang dilakukan juga dianggap lebih berat.

Peristiwa Penting dan Amalan di Bulan Muharram

Bulan ini memiliki makna yang mendalam karena banyak peristiwa penting yang terjadi, di antaranya:

  • Diterimanya tobat Nabi Adam.
  • Selamatnya Nabi Nuh dari banjir besar.
  • Selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun.
  • Diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, ada beberapa amalan yang sangat dianjurkan saat Bulan Muharram, terutama pada hari Asyura (10 Muharram):

  • Puasa: Disunahkan untuk berpuasa pada tanggal 9 (Tasu’a) dan 10 Muharram (Asyura). Puasa Asyura diyakini dapat menghapus dosa-dosa setahun sebelumnya.
  • Sedekah: Dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dan menyantuni anak yatim.
  • Amalan Lainnya: Memperbanyak salat sunnah, mempererat silaturahmi, mandi, memakai wewangian, berziarah, dan menziarahi orang sakit.

Bulan Suro dalam Tradisi Jawa, Antara Kehormatan dan Kehati-hatian

Berbeda dengan pandangan Islam yang penuh keberkahan, Bulan Suro dalam tradisi Jawa seringkali dianggap sebagai bulan yang “keramat” atau sakral.

Ada banyak pantangan dan mitos yang berkembang di masyarakat, seperti larangan mengadakan hajatan, pindah rumah, atau melakukan perjalanan jauh.

Bulan ini juga dianggap memiliki energi mistis yang kuat, sehingga banyak orang melakukan ritual khusus seperti tirakat (bertapa) atau laku prihatin.

Pandangan Islam Terhadap Mitos “Bulan Sial”

Para ulama Islam secara tegas menolak anggapan bahwa Bulan Suro atau bulan lainnya adalah bulan “sial” atau “tidak beruntung”.

Mereka menekankan bahwa semua waktu yang diciptakan Allah adalah baik. Nasib baik atau buruk seseorang tidak ditentukan oleh waktu, melainkan oleh takdir atau perbuatannya sendiri.

Mengaitkan kesialan dengan waktu tertentu disebut sebagai thiyarah (takhayul) dan dapat mengarah pada syirik (menyekutukan Tuhan), karena seolah-olah menganggap waktu memiliki kekuatan atas takdir manusia.

Praktik-praktik seperti mencari pesugihan (kekayaan instan) atau awet muda pada bulan ini juga bertentangan dengan ajaran Islam.

Sinkretisme, Akulturasi Budaya dan Agama di Tanah Jawa

Meskipun terdapat ketegangan antara kepercayaan tradisional Jawa dan ajaran Islam, banyak masyarakat Muslim Jawa yang berhasil mengamati kedua tradisi tersebut secara bersamaan.

Mereka menafsirkan ulang ritual tradisional melalui lensa Islam. Misalnya, tirakat yang awalnya bertujuan mistis diubah menjadi muhasabah (introspeksi diri) dan refleksi dalam ajaran Islam.

Hal ini menunjukkan adanya proses sinkretisme yang terus-menerus, di mana identitas budaya berbaur dengan ortodoksi agama.

Negosiasi yang berkelanjutan antara tradisi leluhur dan ajaran Islam inilah yang menjadi ciri khas kehidupan spiritual di Jawa.

Kesimpulan

Jadi, apakah Bulan Suro dan Bulan Muharram sama? Secara kalender, keduanya sinkron.

Namun, secara pandangan spiritual dan praktiknya, keduanya memiliki interpretasi yang berbeda.

Muharram adalah bulan suci penuh keberkahan dalam Islam, sementara Suro adalah bulan sakral penuh kehati-hatian dalam tradisi Jawa.

Memahami hubungan kompleks ini membantu kita melihat kekayaan budaya dan spiritual yang ada di Indonesia, di mana tradisi dan agama dapat berdialog dan beradaptasi. ***

KONTEN UNIK DARI SPONSOR UNTUK ANDA
spot_img

Berita Terbaru

spot_img
spot_img

Berita Terkait