KABARCEPU.ID – Daun kratom (Mitragyna speciosa), sebuah tanaman tropis yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Thailand, semakin menarik perhatian dunia.
Hal ini bukan hanya karena penggunaan tradisionalnya dalam pengobatan, namun juga karena potensi ekonominya dan kontroversi seputar legalitas tanaman kratom.
Secara tradisional, daun kratom telah lama digunakan oleh masyarakat lokal di Kalimantan untuk mengatasi berbagai keluhan, mulai dari pereda nyeri, peningkatan energi, hingga mengatasi diare.
Hal ini disebabkan oleh kandungan alkaloid aktif dalam daun kratom, terutama mitragynine dan 7-hydroxymitragynine, yang berinteraksi dengan reseptor opioid di otak. Interaksi ini dapat menghasilkan efek analgesik (penghilang nyeri), stimulan dalam dosis rendah, dan sedatif dalam dosis tinggi.
Selain penggunaan tradisional, daun kratom kini banyak dipromosikan sebagai alternatif untuk mengatasi kecanduan opioid, meredakan gejala depresi dan kecemasan, serta meningkatkan fokus dan produktivitas.
Meskipun tanaman kratom menawarkan potensi manfaat, penting untuk memahami bahwa konsumsinya juga dapat menimbulkan risiko dan efek samping.
Beberapa efek samping yang umum dilaporkan meliputi mual, konstipasi, pusing, kantuk, dan mulut kering. Penggunaan jangka panjang dan dosis tinggi dapat menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti gangguan pencernaan kronis, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan bahkan ketergantungan.
Di satu sisi, kratom memiliki nilai manfaat dari berbagai aspek di antaranya aspek ekologi, kesehatan,dan ekonomi. Melansir dari BPPK Kementerian Keuangan RI, berikut nilai kratom dari aspek-aspek tersebut:
Aspek Ekologi
Habitat kratom berada di daerah aliran sungai (DAS) dan rawa-rawa. Kratom tumbuh optimal pada tanah aluvial (endapan mineral) yang subur dan berair. Tanaman ini memiliki kemampuan bertahan hidup dalam kondisi lahan dengan pH asam dan
tergenang air sepanjang tahun, sehingga masyarakat di Kalimantan menanam kratom di tepi-tepi sungai dan rawa gambut, untuk difungsikan sebagai penahan abrasi dari arus sungai.
Hasil pengamatan tim peneliti Badan Litbang Kesehatan di Kalimantan Barat mengemukakan bahwa kratom memberikan dampak ekologi, contohya menambah luasan lahan hijau untuk meningkatkan simpanan karbon dalam tanah, mencegah abrasi, dan menjadi tempat simpanan air dalam tanah, serta mengurangi emisi gas rumah kaca.
Aspek Kesehatan
Selama ratusan tahun, masyarakat telah mengonsumsi tanaman kratom dengan berbagai cara. Petani dan buruh sering mengunyah daun kratom segar sebagai stimulan untuk mengatasi kelelahan dan meningkatkan produktivitas kerja.
Thailand memiliki keunikan tersendiri dalam menggunakan kratom, yakni disajikan sebagai makanan ringan untuk menerima tamu. Kratom juga digunakan sebagai sarana ritual dalam pemujaan leluhur dan dewa.
Oleh karena itu, masyarakat Thailand menyebut kratom sebagai daun dewa. Masyarakat Kalimantan khususnya Kalimantan Barat, mengonsumsi seduhan daun kratom dalam bentuk jamu atau teh herbal. Berbeda dengan masyarakat di Malaysia yang mengonsumsi daun kratom sebagai jus dengan cara mengkombinasikan dengan minuman manis.
Kratom dikenal dengan julukan “Daun Surga Asal Kalimantan”. Masyarakat Kalimantan menganugerahi julukan tersebut karena khasiat yang dimiliki daunnya sebagai pengobatan tradisonal.
Tanaman kratom dipercaya dapat meningkatkan daya tahan tubuh, menambah energi, mengatasi depresi, menambah nafsu makan, dan stimulan seksual. Daunnya juga dipercaya sebagai obat alami untuk mengobati diare, rematik, asam urat, batuk, demam, cacingan, malaria, diabetes, hipertensi, disentri, cephalgia, stroke, kolestrol, dan menyembuhkan luka.
Aspek Ekonomi
Masa panen tanaman kratom cukup cepat, yakni saat tanaman berumur 6 bulan dengan tinggi sekitar 1 m dengan cara memetik daun yang sudah tua, dengan menyisakan sekitar 4-6 helai daun muda pada bagian pucuk.
Panen pertama menghasilkan sekitar 0,5–0,75 kg/pohon. Panen kedua dilakukan 1,5–3 bulan setelah panen pertama, tergantung kondisi tanaman. Hasil panen kedua umumnya meningkat sekitar 30%. Panen selanjutnya dilakukan setiap 1,5–3 bulan dengan hasil panen semakin meningkat.
Daun kratom yang beredar di penjuru negara memiliki harga yang berbeda, tergantung varietas dan jenis daun kratom yang dapat diolah menjadi jamu atau teh herbal.
Selain itu, kratom juga tersedia dalam bentuk daun kering, bubuk, dan kapsul untuk diekspor dengan tujuan Amerika, Eropa, dan beberapa negara di Asia. Sekitar 16.000.000 jiwa di Amerika Serikat membutuhkan daun kratom untuk mengatasi masalah kesehatan.
Indonesia merupakan negara pengekspor utama kratom ke Amerika Serikat, rerata kratom yang dijual ke pasar Amerika sebanyak 400 ton dengan nilai jual Rp100.000,00 per kilogram.
Keberadaan kratom sebagai sumber mata pencaharian telah mengubah masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Tingginya permintaan kratom membuat 70% petani karet dan nelayan di 14 Kecamatan di Kapuas Hulu telah mengalihkan mata pencaharian sebagai petani kratom.
Terdapat 18.120 petani kratom dan sebanyak 44.491.317 pohon kratom yang ditanam masyarakat yang tersebar di 23 kecamatan wilayah Kapuas Hulu. Nilai ekonomi kratom telah menggeser kemampuan finansial petani kratom dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Legalitas Daun Kratom
Tanaman kratom masih menjadi pro dan kontra di beberapa negara terkait legalitas untuk digunakan sebagai obat tradisonal dan suplemen makanan. Negara yang melarang tumbuhan dan/atau zat yang memiliki kandungan kratom, yaitu Australia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Latvia, Lithuania, Malaysia, Myanmar, Polandia, Rumania, dan Swedia.
Penggunaan kratom dilarang di Malaysia berdasarkan Poison Act 1952 (Ord. No. 29 of 1952), sebagaimana telah direvisi dengan Act 366 w.e.f. 13 April 1989, namun produksi dan penggunaan daun kratom di Malaysia tetap tersebar luas, karena pohon kratom tumbuh secara alami dan ramuan teh tersedia di masyarakat setempat.
Amerika Serikat merupakan negara pengimpor utama kratom dan melegalkan kratom di 43 negara bagian, walaupun US Food and Drug Administration (FDA) telah melarang Mitragyna speciosa digunakan sebagai suplemen makanan karena senyawa kimia yang terdapat dalam kratom memiliki efek yang sama dengan opioid (morfin, kodein, metadon, dan heroin), sehingga mengakibatkan ketergantungan bahkan kematian.
Thailand pernah melarang peredaran kratom pada tahun 1943. Kemudian, Negeri Gajah Putih tersebut mendekriminalisasi kratom melalui Narcotics Code B.E. 2564 tanggal 8 November 2021, yang menghapus Mitragyna speciosa dari daftar 5 (lima) kategori narkotika. Keputusan ini dilakukan setelah Thailand Development Research Institute melakukan sebuah studi yang memperkirakan legalisasi kratom akan menghemat pengeluaran aparat untuk pemberantasannya hingga 1,69 miliar baht atau setara 50 juta dollar.
Legalitas kratom telah menjadi polemik di Indonesia karena adanya pelarangan penggunaan kratom sebagai obat tradisional dan suplemen makanan, namun belum ada regulasi yang melarang budi daya kratom dan distribusi daun kratom. Sebagaimana diketahui bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika belum memasukkan kratom sebagai narkotika.
Di Indonesia, aturan terhadap tanaman kratom hanya dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016. Maka sejak tahun 2016, BPOM telah melarang penggunaan Mitragyna speciosa (Kratom) dalam Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan.
Badan POM selaku otoritas pengawasan obat dan makanan menetapkan peraturan untuk melindungi masyarakat dari efek samping dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari penggunaan kratom.
Pada tahun 2017, Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika merekomendasikan kratom masuk dalam daftar narkotika golongan I dan menetapkan masa peralihan selama 5 (lima) tahun.
Melalui Surat Edaran BNN Nomor B/3985/X/KA/PL.02/2019/BNN tanggal 31 Oktober 2019 tentang Sikap Badan Narkotika Nasional Terkait Peredaran dan Penyalahgunaan Kratom (Mitragyna speciosa) di Indonesia.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengeluarkan kebijakan daun kratom dilarang total untuk digunakan dalam suplemen makanan ataupun obat tradisional mulai tahun 2022 atau lima tahun masa transisi pasca ditetapkannya tanaman kratom sebagai narkotika golongan I oleh Komite Nasional Perubahan Narkotika dan Psikotropika.
Kesimpulan
Kratom memiliki potensi yang menarik sebagai tanaman obat dan komoditas ekonomi. Namun, penting untuk mendekati kratom dengan pemahaman yang seimbang tentang berbagai khasiat dan juga risikonya yang perlu diperhatikan.
Penelitian ilmiah yang lebih lanjut dan regulasi yang jelas diperlukan untuk memaksimalkan manfaat kratom sambil meminimalkan potensi bahayanya. Konsumen juga perlu berperan aktif dengan mengonsumsi kratom secara bertanggung jawab dan selalu berkonsultasi dengan profesional kesehatan sebelum menggunakannya.***