KABARCEPU.ID – Kuliner unik ini tidak lain dan tidak bukan adalah kerupuk melarat dan sate kere.
Sebelumnya, kata ‘melarat’ dan ‘kere’ pada makanan ringan ini berarti kuliner unik yang mudah dengan bahan seadanya.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Melarat” berarti miskin; sengsara. Sedangkan “Kere” adalah bahasa gaul yang artinya tidak punya.
Kerupuk melarat, semakin unik bukan hanya namanya tetapi juga proses pembuatannya.
Kerupuk khas asal Cirebon ini tidak banyak memiliki perbedaan dengan kerupuk pada umumnya, hanya saja proses memasaknya yang tidak umum.
Camilan yang biasanya diolah menggunakan minyak goreng dalam wajan.
Namun, ini tidak berlaku di Cirebon, Jawa Barat. Salah satu kerupuk khas Cirebon justru menggunakan pasir sebagai pengganti minyak dalam proses pengolahannya.
Karena proses pengolahan itulah, masyarakat Cirebon menyebutnya dengan sebutan kerupuk melarat.
Nama kerupuk melarat sendiri lahir karena harga minyak goreng yang saat itu mahal.
Tidak semua lapisan masyarakat di Cirebon pada saat itu bisa mendapatkan minyak karena harganya yang selangit.
Hal tersebut yang kemudian mendorong masyarakat Cirebon membuat inovasi dengan memasak kerupuk menggunakan pasir.
Pasir yang digunakan bukan sembarang pasir, melainkan pasir pegunungan yang sudah melewati proses pengayakan.
Setelah diayak, pasir kemudian dijemur untuk menghasilkan pasir yang bersih dan kering. Setelah itu, barulah pasir layak digunakan sebagai pengganti minyak.
Selain disangrai menggunakan pasir, ciri khas lainnya yang ada pada kerupuk melarat adalah warnanya yang beraneka ragam, seperti merah, putih, dan hijau.
Sedangkan Sate Kere merujuk pada kata “kere” dalam bahasa Jawa yang memiliki arti miskin atau tidak memiliki uang.
Hal ini didasarkan pada zaman pendudukan Belanda, yang menyantap sate ini adalah orang pribumi yang berasal dari kalangan tidak mampu.
Hal ini dikarenakan pada waktu itu bahan baku pembuatan sate seperti daging memiliki harga yang cukup tinggi.
Sehingga rakyat pribumi pada waktu itu mengganti daging dengan ampas tahu atau tempe gembus, dan jeroan sebagai pengganti daging. Kemudian dari situlah penamaan Sate Kere muncul.
Konon katanya, Sate Kere merupakan hasil kreativitas dari kaum inlander dalam memanfaatkan bahan makanan yang dibuang oleh kaum kulit putih atau kalangan atas pada masa pendudukan Belanda.
Sate ini juga merupakan sebuah counter culture atau budaya tanding yang dibuat kaum penjajah terhadap sang penjajah.
Jika si penjajah karena kekuasaan dan kekayaannya mampu menikmati sate daging, maka kaum miskin atau pribumi yang terjajah hanya bisa memanfaatkan sisa-sisanya.
Maka dari itu, tidak heran jika Sate Kere adalah makanan yang umum dimakan oleh kaum miskin atau kere.
Meskipun sate ini dulunya merupakan makanan bagi kaum miskin atau tidak mampu, sekarang Sate Kere telah berubah menjadi makanan yang wajib disantap bagi para wisatawan yang datang dari luar daerah Solo.
Bahkan, sekarang Sate Kere juga telah populer di berbagai lapisan masyarakat.
Hal ini dikarenakan sate ini memiliki cita rasa yang khas dan lezat sehingga membuat siapa pun yang menyantapnya langsung jatuh cinta dengan cita rasanya.