KABARCEPU.ID – Penyelesaian persoalan atau Konflik Agraria di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Jawa Tengah, sekarang ini masih bergulir.
Konflik Agraria di Cepu membuat Pemerintah Kabupaten Blora mulai melakukan perubahan status Asset Hak Milik Pemkab Blora menjadi Hak Pengelolaan Lahan atau HPL.
Terkait Konflik Agraria di Cepu itu, ditargetkan selesai bulan Maret 2023, sekarang ini Pemkab Blora masih melakukan identifikasi data.
Kepala Badan Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Slamet Pamudji, menjelaskan, setelah berubah menjadi HPL, masyarakat dipersilakan mengajukan permohonan pengelolaan.
“Mengejutkan Hak Guna Bangunan (HGB) bagi yang ditempati bangunan dan Hak Pakai bagi lahan kosong. Seperti untuk sawah atau sejenisnya,” kaya Mumuk sapaan akrabnya.
Sekarang ini, pihaknya tengah melakukan identifikasi data. Terkait siapa saja yang menempati, berapa tahun menempati, berapa luas dia menguasai, apakah dia bertempat tinggal disitu, dan apakah itu digunakan usaha atau tempat tinggal.
“Sementara ini terdata 1.400an pemohon dari tiga kelurahan, Cepu, Ngelo dan Karangboyo. Mulai Selasa sampai Kamis nanti tim ke lapangan. Untuk identifikasi verifikasi data-data itu apakah betul,” kata dia.
Saat ditemui di kantornya pada 20 Februari 2023, Mumuk menyebutkan, setelah identifikasi, secara paralel pihaknya juga menyusun Perbub terkait tatacara pembelian HGB.
Karena, pada prinsipnya diatur sesuai dengan PP 18 tahun 2021 tentang hak Pengelolaan hak atas tanah satuan rumah susun dan pendaftaran tanah.
“Harus ada biaya yang dikeluarkan. Termasuk semacam sewa tahunan,” kata dia.
Dengan batasan waktu sampai 30 tahun, lalu bisa diperpanjang 20 tahun dan diperbaharui lagi. “Sampai total 80 tahun. Tidak bisa menjadi hak milik,” ungkapnya.
Dia menargetkan, dari HPL ke HGB bisa selesai pada Maret nanti. “Katanya akan diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi. itupun masih katanya,” ujarnya.
Pada Oktober 2022 lalu, saat menteri ATR /BPN Hadi Tjahyono, menargetkan selesai waktu tiga bulan. Menurut Mumuk itu tidak mungkin.
Sebab, untuk menyatukan persepsi ini memang sulit. Sampai sekarang belum sinkron. “Contohnya, kementerian dalam negeri tidak mau kalau tidak sewa,” ungkapnya.
Akan tetapi, untuk mengambil sebuah kebijakan tidak harus menunggu sinkron. ” Di sana juga harus buat kebijakan, jangan hanya bupati saja yang membuat kebijakan,” tuturnya.
Sebab, kebijakan ini akan menjadi menakutkan. Kebijakan itu akan bisa saja membuat orang lain menjadi semakin kaya. Walaupun ada beberapa yang juga benar-benar butuh.
“Pada satu sisi, membuat kebijakan itu memperkaya orang lain dan ketika salah menerapkan hukum, berarti memenuhi unsur melawan hukum,” jelasnya.***