Cepu  

Mengembalikan Warisan Jipang sebagai Mercusuar Peradaban Islam

Mengembalikan Warisan Jipang sebagai Mercusuar Peradaban Islam

Sejak kapan cap tersebut melekat di desanya, kepala desa akrab disapa Ndaru ini kurang tahu. Yang pasti, tutur dia, pelekatan cap dimaksud sudah berlangsung lama.

“Sejak saya masih kecil,” ujar kepala desa kelahiran 1980 ini saat ditemui Rabu (22/5/2024) lalu.

Menurut dia, cap tersebut tak benar. Masyarakat desanya memang mengamini suatu pengeramatan dan mempercayai entitas serta eksistensi ghaib yang didesuskan di wilayah desa setempat.

“Namun, itu tak lantas membuat kami menjadi merah dan berpisah dengan Islam,” tegasnya.

Berdasarkan keterangan Ndaru, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di pusat wilayah Jipang tersebut begitu toleran. Artinya, tetap mengimani Islam. Namun, tak meninggalkan keramatisme Jawa.

Terkait mengapa pusat wilayah Jipang itu dicap sebagai wilayah merah, Ndaru tak tahu pasti. Namun, ada jawaban yang cukup kronologis dan dicatat dalam beberapa literatur sejarah.

Hubungan wilayah Jipang dengan merah, terjadi kala pergerakan nasional meletup di awal abad 19. Masa itu, ada Sarekat Islam (SI) Merah yang kemudian jadi Partai Komunisme Indonesia (PKI).

SI Merah atau PKI yang diorganisir Semaun dari Kota Semarang bermassa intelektualis, buruh, dan tani. Salah satunya, buruh kereta di wilayah Jipang yakni Kota Cepu yang jumlahnya banyak.

Sebab, di Kota Cepu pada masa itu berlangsung operasional stasiun sekaligus depo kereta konvensional. Juga ada operasional kereta khusus untuk aktivitas eksploitasi Kayu Jati.

Singkatnya, Kota Cepu merupakan kantong merah yang diperhitungkan karena massa buruh kereta. Namun, pada aksi PKI 1926, para komunis di Kota Cepu tak ambil peran. Sebab, aksi PKI 1926 itu fokus di Batavia.

KONTEN MENARIK UNTUK ANDA

KONTEN PILIHAN UNTUK ANDA