KABARCEPU.ID – Gunung Lawu terkenal angker dan menyimpan misteri ini memiliki mitos sebagai tempat sakral di tanah Jawa.
Hal itu disebabkan oleh adanya beberapa peninggalan sejarah yang masih terlihat di sekitar lereng Gunung Lawu, termasuk tempat moksa Prabu Brawijaya.
Pada Zaman Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur dan dianggap sebagai salah satu kerajaan terbesar di wilayah Asia Tenggara pada masa lalu.
Catatan sejarah mencatat bahwa Majapahit hampir menguasai seluruh daerah Nusantara pada masa itu.
Brawijaya V adalah raja terakhir dari Kerajaan Majapahit. Meskipun dikabarkan menghabiskan sisa umurnya di Gunung Lawu dalam pengasingan, tidak ada yang mengetahui dengan pasti di mana makam sang raja berada.
Diyakini bahwa penguasa Majapahit itu menghilang tanpa jejak selama pengasingannya.
Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat sekitar Gunung Lawu, tempat ini terkenal sebagai tempat pengasingan bagi Brawijaya, Raja Majapahit terakhir, yang menjadi pertapa dengan didampingi oleh abdi dalem setianya, Sabdo Palon dan Noyo Genggong.
Konon, sumpah Prabu Brawijaya V ini diucapkannya ketika adipati Cepu dan para pengawalnya mengejar raja terakhir Majapahit di Gunung Lawu.
Isi sumpah Prabu Brawijaya ini khusus hanya untuk adipati Cepu dan keturunannya.
Gunung Lawu dikaitkan dengan Raja Brawijaya sangat erat, menjadikan kisah sangat menarik untuk ditelusuri.
Pada masa akhir Kerajaan Majapahit (1400M), kerajaan mengalami pasang surut dalam pemerintahan Prabu Brawijaya V.
Putra Brawijaya V, yang bernama Raden Patah, mendirikan kerajaan Islam yaitu Kerajaan Demak yang menjadi kerajaan besar di Jawa.
Brawijaya gagal membujuk Raden Patah untuk kembali ke kerajaannya dan menolak jika Kerajaan Demak menjadi bawahan Kerajaan Majapahit.
Berawal dari pemberontakan menantunya sendiri, Prabu Brawijaya pindah ke Kerajaan Demak.
Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya untuk memeluk Agama Islam, tetapi Prabu Brawijaya menolak ajakan tersebut.
Prabu Brawijaya V tidak ingin terus berdebat yang mengakibatkan peperangan dengan anaknya sendiri, akhirnya memilih untuk melarikan diri bersama pengikutnya ke Karanganyar.
Peperangan antara pasukan Prabu Brawijaya V yang dalam pengasingannya ke Gunung Lawu, dan Adipati Cepu dari Majapahit, bermula saat Raden Gugur dikejar-kejar pasukan Kadipaten Cepu.
Pasukan Adipati Cepu kala itu diperintah oleh Girindrawardhana, raja Majapahit yang berhasil menggulingkan kedudukan Brawijaya.
Dengan pasukan yang tersisa, Brawijaya kemudian melawan dibantu dengan pasukan Wongso Menggolo dan Dipo Menggolo yang merupakan penggawa desa di Bagian Utara Gunung Lawu.
Saking dahsyatnya pertempuran di Bulak Peperangan itu, konon tak ada prajurit yang selamat.
Hanya Raden Gugur, Wongso Menggolo, dan Dipo Menggolo yang berhasil selamat. Kala itu Adipati Cepu yang berhasil lolos dari maut akhirnya memilih melarikan diri.
Geram terus dikejar pasukan Cepu, dalam persembunyiannya di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya mengeluarkan sumpah kepada Adipati Cepu: “Sawijining ono Anggone uwong Cepu utawi turunane Adipati Cepu pinarak sajroning Gunung Lawu bakale kengeng nasib ciloko lan agawe bisa lungo ing Gunung Lawu.”
Hingga sekarang, tuah sumpah raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya, masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu, khususnya keturunan Adipati Cepu.
Karena itulah, keturunan adipati Cepu masih percaya bahwa melanggar sumpah ini akan berakibat buruk bagi mereka yang tetap nekat mendaki Gunung Lawu.***