KABARCEPU.ID – Rencana pemerintah untuk membatasi permainan daring bertema peperangan seperti PUBG Mobile pasca-insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta kembali menuai perdebatan. Publik terbelah soal apakah game benar-benar berpengaruh terhadap perilaku remaja.
Menanggapi hal itu, Lukman Hakim, Dosen Informatika Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), menilai langkah pemerintah tersebut menunjukkan niat baik untuk melindungi generasi muda dari pengaruh negatif dunia digital.
Namun, ia mengingatkan agar kebijakan itu tidak diambil secara terburu-buru.
“Langkah ini harus dilaksanakan dengan hati-hati, berbasis bukti, dan seimbang agar tidak sekadar menjadi respons emosional, tetapi menjadi bagian dari strategi pembinaan digital yang integratif,” jelas Lukman, Senin 10 November 2025, dikutip dari laman resmi.
Menurutnya, game daring seperti PUBG sering kali menjadi bentuk pelarian psikologis bagi remaja yang sedang mengalami tekanan emosional maupun sosial.
“Dalam konteks ini, menyalahkan game sebagai akar masalah justru berisiko menutup pandangan terhadap isu yang lebih mendasar yakni lemahnya sistem deteksi dini terhadap stres, depresi, dan kekerasan sosial di sekolah,” ujarnya.
Lukman menilai, pembatasan yang didasarkan pada asumsi semata dapat menimbulkan kesan represif terhadap ruang ekspresi digital anak muda tanpa menyentuh akar persoalan sebenarnya.
Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada langkah konstruktif dan berjangka panjang untuk melindungi pelajar dari dampak negatif dunia maya.
Beberapa langkah yang ia usulkan antara lain memperkuat program kesehatan mental di sekolah.
Sekolah, kata Lukman, perlu menyediakan layanan konseling profesional, sistem dukungan sebaya (peer-support system), serta pelatihan bagi guru agar mampu mengenali tanda-tanda depresi atau isolasi sosial pada siswa.
Langkah kedua adalah membangun literasi digital yang sehat.
“Pendidikan digital tidak boleh hanya fokus pada pembatasan konten, tetapi juga harus mengajarkan siswa berpikir kritis, memahami konteks kekerasan di media, dan menyeimbangkan waktu bermain dengan aktivitas lain,” jelasnya.
Selain itu, Lukman juga menekankan pentingnya melibatkan riset akademik dalam kebijakan publik.
“Kebijakan publik harus berbasis data empiris dari penelitian psikologi, pendidikan, dan sosiologi anak muda, bukan sekadar reaksi terhadap peristiwa tragis,” tambahnya.
Ia juga mengutip hasil tinjauan dari jurnal internasional “Escaping through virtual gaming: what is the association with emotional, social, and mental health? A systematic review”. Dalam temuan itu, game disebut bisa berperan sebagai bentuk eskapisme atau pelarian sementara dari tekanan kehidupan nyata.
Karena itu, menurut Lukman, pelarangan total tanpa memahami konteks sosial dan psikologis pemain justru berpotensi kontraproduktif.
“Kunci utamanya adalah bagaimana memastikan pelajar tetap dapat menikmati hiburan digital secara sehat, namun sekaligus terlindungi dan memiliki resiliensi terhadap potensi risiko di dunia nyata,” pungkasnya. ***




