KABARCEPU.ID – Siapa tak kenal kue putu bumbung? Jajanan pasar berwarna hijau dengan isian gula merah yang lembut ini tak hanya memanjakan lidah, tapi juga menyimpan seuntai kisah panjang yang merentang dari Tiongkok kuno hingga kebudayaan Nusantara.
Lebih dari sekadar camilan, kue putu adalah saksi bisu dari akulturasi budaya yang manis.
Lahir di Masa Dinasti Ming
Meskipun kini sangat identik dengan Indonesia, sejarah kue putu bumbung ternyata berawal dari daratan Tiongkok.
Para sejarawan kuliner memperkirakan kue ini sudah ada sejak sekitar 1.200 tahun lalu, jauh sebelum nama “putu” dikenal, tepatnya pada masa Dinasti Ming (sekitar abad ke-13 hingga ke-17).
Di Tiongkok, kue ini memiliki nama asli Xian Roe Xiao Long, yang secara harfiah berarti “kue dari tepung beras dengan isian kacang hijau yang dikukus dalam cetakan bambu”.
Uniknya, metode pembuatannya—mengukus adonan tepung beras dalam wadah buluh bambu—sudah sama persis dengan cara kita membuat putu bumbung hari ini.
Kue ini kemudian dibawa oleh para migran Tiongkok dalam perjalanan mereka ke Nusantara. Proses inilah yang menjadi awal mula perjalanan panjang Xian Roe Xiao Long ke meja makan masyarakat Jawa.
Akulturasi Rasa di Bumi Nusantara
Setibanya di kepulauan yang kaya rempah, Xian Roe Xiao Long pun bertransformasi. Dalam proses akulturasi yang indah, isian kacang hijau yang menjadi ciri khas aslinya diganti dengan bahan lokal yang lebih mudah ditemukan dan memiliki cita rasa khas: gula merah atau gula jawa.
Perubahan isian inilah yang melahirkan rasa manis legit yang kita kenal dari putu bumbung saat ini, sebuah sentuhan lokal yang membuatnya terasa sangat Nusantara.
Perubahan tak hanya terjadi pada isian, tetapi juga pada namanya.
Jejak Putu dalam Serat Centhini 1814
Nama putu muncul sebagai penanda bahwa kue ini telah sepenuhnya terintegrasi dalam budaya Jawa.
Penyebutan nama ini pertama kali terekam dalam naskah sastra Jawa kuno, yaitu Serat Centhini, yang ditulis pada tahun 1814 di masa Kerajaan Mataram.
Dalam serat tersebut, kata puthu disebut-sebut sebagai salah satu hidangan yang disajikan pada pagi hari.
Catatan ini membuktikan bahwa kue putu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi kuliner Jawa sejak awal abad ke-19.
Lantas, dari mana asal kata putu itu sendiri? Kata ini diyakini berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti bundar atau lingkaran.
Makna ini merujuk langsung pada cetakan bambu berbentuk rongga buluh bundar atau tabung (bumbung dalam bahasa Jawa) yang khas dan esensial dalam proses pembuatannya.
Kombinasi nama putu dan cetakan bambu inilah yang menghasilkan nama Putu Bumbung, sebuah nama yang merangkum sejarah panjang, proses akulturasi, dan warisan budaya yang tak lekang oleh waktu.
Kue putu bumbung, dengan suara cuil-cuil khas dari uap panas yang keluar saat dikukus, bukan hanya sekadar jajanan. Ia adalah perpaduan rasa Tiongkok dan lokal, warisan sastra, serta simbol dari keragaman budaya yang menjadi kekayaan tak ternilai di Indonesia.
Apakah Anda punya kenangan manis saat menikmati hangatnya kue putu bumbung?