Oleh: Ahmad Alwi
Sebagai Negara demokrasi, saat ini proses pemilu menjadi sangat penting. Sebab, dari sinilah nantinya diharapkan terlahir wakil-wakil kita. Merka para pengambil kebijakan yang bisa berpihak pada masyarakat.
Pemilu tidak lagi soal memilih dan dipilih. Tapi, disini nantinya akan berimbas pada semua produk hukum yang dihasilkan. Berangkat dari pemilu, berimbas pada kinerja Negara selama 5 tahun.
Selama ini, penyelenggara pemilu yang dilimpahkan oleh lembaga KPU dan Bawaslu sebenarnya memiliki tugas yang berat. Suksesi terselenggaranya pemilu yang aman, adil, dan demokatis. Merupakan harapan masyarakat sebagai konstituen.
Konstituen akan merasa puas. Apabila, hak pilihnya benar- benar digunakan dalam pemilu. Selama in, perbincangan politik merupakan perbincangan yang akrab di wilayah patriarki.
Belum ada ruang perempuan
Kesetaraan gender di wilayah Pemilu belum begitu mendapat ruang bagi perempuan. Contohnya, ketidakberdayaan KPU dalam menjemput suara bagi perempuan yang berhalangan hadir di TPS. Ketidakhadiran perempuan di TPS bisa disebabkan oleh adanya halangan seperti melahirkan ataupun sakit.
Bayangkan, ketika mereka berada di Rumah Sakit untuk bersalin. Dengan total hak suara ribuan. Apakah mereka yang kepayahan untuk memberikan hak pilihnya akan tetap dilayani?
Harusnya, KPU mau mendata dan kemudian menjemput bola. Bukan lantas malah meninggalkan mereka yang tidak pro aktif dalam Pemilu.
Tak hanya itu, semua orang dengan status WNI dan sudah memiliki hak suara, meskipun 1 suara. Ini adalah suara.
Tak ketinggalan, selama ini KPU juga belum bisa memberikan fasilitas bagi lansia. Juga penyandang difabilitas yang kondisinya tidak memungkinkan untuk hadir di TPS. Di sinilah harusnya penyelenggara bisa hadir dalam memberikan solusi.
Tugas KPU, diharapkan bisa memberikan fasilitas bagi warga yang saat terselenggara pemilu berada di Rumah Sakit maupun Panti Jompo. Ketersediaan petugas KPU, yang siap di tugaskan dilapangan untuk memberi ruang konstituen yang sakit di rumah.
Sudah menjadi kebiasaan, kalau keberadaan perempuan hanya sebatas pendulang suara. Tanpa diimbangi dengan misi perempuan secara kolektif memilih keterwakilan perempuan.
Pragmatisme yang sudah terlanjur tertanam di benak mereka sebagai konstituen. Yaitu menjual suara ke wakil mereka. Tanpa melihat seberapa pantas orang yang berhasil membeli suara perempuan.
Keberadaan komisioner perempuan di KPU dan Bawaslu mestinya menjadi solusi. Bagaimana proses Pemilu bisa berimbang. Tidak lantas semua kebijakan ditelurkan oleh komisioner laki-laki.
Di lapangan, banyak segudang masalah perempuan dalam proses demokrasi, yang mestinya mereka para komisioner perempuan sudah lebih tahu.***
Penulis adalah anggota PA GMNI Kabupaten Blora