Oleh : Totok Supriyanto
Dibutuhkan waktu sekitar dua puluh empat jam bagi air untuk mengalir dari Panolan hingga Ujung Pangka.
Wilayah sekitar aliran Bengawan Solo dikenal sebagai Lembah Bengawan, yang secara geografis terbagi menjadi dua bagian: lembah bagian atas dan lembah bagian bawah.
Masing-masing mencakup sekitar setengah dari perjalanan sungai tersebut.
Secara sederhana, batasnya dapat ditarik sebagai garis bujur utara-selatan, mulai dari timur Kota Tuban hingga ujung barat lereng Bukit Pegat dan lereng timur Perbukitan Ratu (Gunung Pandan).
Di bagian atas Lembah Bengawan, yang terletak di sebelah selatan Blora dan sebelah barat Bojonegoro, merupakan salah satu dataran paling jarang penduduknya di Jawa.
Sebagian besar wilayah lembah ini digunakan untuk lahan sawah, dengan irigasi yang cukup baik.
Namun, di sini, tanah yang berbukit membentuk tebing-tebing tinggi di kedua sisi bantaran sungai, dengan ketinggian mencapai 40-70 meter.
Sebagian besar wilayah ini ditumbuhi pohon jati. Hanya di beberapa sungai kecil terdapat sawah-sawah dan desa-desa yang menembus hutan hingga ke kaki bukit.
Di sepanjang tepian Bengawan, mulai dari Ngluwak (Luwihaji, Bojonegoro), terdapat deretan desa-desa yang cukup ramai.
Wilayah yang paling ramai adalah di kota kembar Ngareng-Padangan. Ngareng, yang juga disebut Cepu atau Plunturan, terletak di tepi utara kelokan tajam Bengawan yang mengarah ke timur.
Padangan, yang berada di seberang Bengawan, berpusat sedikit lebih hilir, pada kelokan berikutnya.
Lokasi ini dipilih karena secara tradisional daerah perdagangan (bandaran) cenderung mencari cekungan sungai yang strategis, yang juga dilalui atau dekat dengan jalur listrik.
Pabrik besar penyulingan minyak bumi dan parafin milik Dordch Petroleum Maatscappij terletak di Ngareng. Pabrik ini memproduksi lilin dan lilin batik yang banyak dijual ke seluruh Jawa.
Rakit bambu yang membawa kaleng minyak tanah digunakan sebagai sarana transportasi menuju hilir sebelum pembangunan jalur trem kereta api dan jalur pipa di sepanjang jalan menuju Blora dan Surabaya.
Jalur rel kereta api yang baru dibangun, yang mencapai Lembah Bengawan Solo dari barat dan utara, bertemu di Ngareng.
Jalur dari barat merupakan kelanjutan jalur trem di sepanjang sisi selatan lembah Sungai Lusi.
Jalur ini kemudian sampai di tikungan Bengawan melalui Lembah Sungai Randublatung, dengan sawah-sawah sempit di antara hutan produksi dan hutan rimba.
Jalur dari utara adalah jalur Blora, kelanjutan dari jalur Rembang (SJS). Jalur trem ini kemudian melintasi Bengawan dan menyusuri jalan raya menuju Bojonegoro.
Wilayah Bojonegoro adalah yang paling subur, meskipun irigasinya masih kurang.
Di antara desa-desa yang perlu disebutkan di Bojonegoro adalah Bowerno, sebuah tempat tua yang terletak di lereng barat Bukit Pegat.
Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara hingga tahun 1827, ketika Bupati dan Asisten Residen pindah ke Rajègwesi, yang kemudian disebut Bojonegoro.
Di sini dibangun alun-alun yang cukup luas. Kota Bojonegoro sebagian besar terletak di sebuah tikungan tua di Bengawan.
Pada tahun 1903, kota ini berpenduduk 15.000 jiwa, dengan lebih dari 2.000 di antaranya adalah warga Tionghoa.
Di sini, warga Tionghoa kaya dan para haji mengelola bisnis perdagangan tembakau yang ramai.
Tembakau, yang sebagian besar ditanam di tepian Bengawan Solo, dipasarkan untuk pasar dalam negeri, meskipun sebagian besar dikirim ke Singapura.
Rute darat dari barat laut, dari Rembang dan Lasem, melewati Lembah Kali Geneng (Kening) untuk mencapai Bengawan, dan kemudian bergabung dengan jalan raya di sepanjang aliran Bengawan.
Sebuah punggung bukit rendah di utara Bojonegoro memisahkan Lembah Kening dari Lembah Bengawan.
Di sebelah timur Kota Bojonegoro, terdapat dua jalur jalan utama di kedua sisi Bengawan.
Jalur yang mengarah ke selatan, yang diikuti oleh trem uap, berbelok ke selatan mendekati sungai lagi menuju Kota Babad.
Sementara di utara, jalan raya menuju Rengel, dan kemudian membelok ke arah Tuban.
Bentangan lembah bagian atas ini secara bertahap melandai, dengan ketinggian dari 40-50 meter di atas permukaan laut (dpl) berkurang menjadi 20-15 dpl.
Lebar sungai pada ketinggian air rata-rata bervariasi antara 125 hingga 250 meter.
Sebagian besar bantarannya memiliki tepian yang curam, dengan ketinggian mencapai 7 meter dari permukaan air sungai.
Namun, pada musim banjir, ketinggian air dapat mencapai 9 meter, menyebabkan air meluap dan terkadang menciptakan jalur aliran baru.